PENGERTIAN FASHAHAH
Fashahah dan Balaghah adalah dua diantara banyak cabang ilmu bahasa Arab, yang menekankan masalah kemahiran memilih kata-kata indah, susunan kalimat yang serasi, sedap di dengar, mudah dimengerti, pendek dan bermakna padat.
الفصاحةُ في اللغةِ تُنْبِئُ عن البيانِ والظهورِ. يقالُ: أفْصَحَ الصَّبيُّ في مَنْطِقِه، إذا بانَ وظَهَرَ كلامُه
Fashahah menurut bahasa adalah: Menampakkan yg jelas dan terang. Sebagaimana dikatakan: anak itu telah FASIH ucapannya, bilamana perkataannya sudah terang dan jelas.
وتَقَعُ في الاصطلاحِ وصْفًا للكلمةِ والكلامِ والمتكلِّمِ
Terjadi menurut istilah balaghah adalah: sifat bagi kalimah (kata), kalam (kalimat) dan mutakallim (pembicara).
Fashahah merarti implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas.Fashahah meliputi : 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan makna (tidak gharib). 3) Ketepatan sharaf.
A. Fashahah kalimah harus terhindar dari:
1. Tanaafur Huruf, adalah : sifat bagi kalimah yang memastikan berat di lidah dan sulit mengucapankannya. contoh AZH-ZHASYSYAH sebutan untuk permukaan yg kasar, HU’KHU’ sebutan untuk tumbuh-tumbuhan makanan unta, NUQQAAKH sebutan untuk air tawan yang jernih, MUSTASYZAR sebutan untuk sesuatu yang dipintal
2. Mukhalafah Qias, adalah : keberadaan kalimah yang tidak mengikuti aturan ilmu shorof. contoh jamaknya lafazh BUUQIN menjadi BUUQAATIN didalam contoh perkataan seorang penyair:
fa in yaku ba’dhun-naasi saifan li daulatin ¤ fa fin-naasi BUQAATIN wa thobuulu
jika sebagian orang itu menjadi pedang untuk negara ¤ maka diantara mereka harus ada terompet dan genderang.
karena menurut qias (ilmu shorof), bentuk jamak qillah adalah “ABWAAQUN”. contoh yang lain “MAUDADAH” di dalam perkataan seorang penyair: "inna baniyya lali-aamun zahadah ¤ maa liya fii shuduurihim min MAUDADAH.”
benar-benar keturunanku itu orang yang tidak baik dan tiada berpenganggapan ¤ di hati mereka tidak ada rasa kasih-sayang untukku.
menurut qias (kaidah ilmu shorof) adalah MAWADDAH dengan di-idgham.
3 Gharabah, adalah : Keberadaan kalimah yang tidak jelas maknanya. Misal TAKA’KA-A dengan arti IJTAMA’A (berkumpul), IFRANQA’A dengan arti INSHOROFA (bubar/berpaling), ITHLAKHOMMA dengan arti ISYTADDA (kuat perkasa/gagah).
Contoh perkataan ‘Isa bin Umar an-nahwiy ketika jatuh dari Himarnya, dan orang-orang mengerumuninya:
“Maa lakum TAKA’KA’TUM ‘alayya, kaTAKA’KUIKUM ‘alaa dzii jinnah? IFRANQI’UU ‘anniy…!”
“ada apa kalian berkumpul mengerumuni saya, sebagaimana kalian berkumpul mengerumuni orang gila? Bubar dariku…!”
B. FASHAHAH KALAM
سلامتُه منْ تَنافُرِ الكلماتِ مجتمعةً، ومنْ ضَعْفِ التأليفِ، ومن التعقيدِ، معَ فصاحةِ كلماتِهِ.
Terhindar dari:
1. Tanaafur (kalimaat mujtami’atan)
adalah : sifat di dalam kalam yang memastikan berat di lidah dan sulit mengucapkannya. contoh: - Tanaafur kalimaat mujtami’atan (ketidaksesuaian lafal antara kata-kata yg terkumpul),
في رَفْعِ عرْشِ الشَّرْعِ مثلُكَ يَشْرَعُ = وليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
Fii ROF’I ‘ARSYIs-SYAR’I mitsluka YUSYRO’ = wa laisa QURBA QOBRI HARBI QOBRU.
Orang sepertimu adalah dia yang bertugas mengangkat tiang layar.Di dekat kuburan Harb itu, tidak ada kuburan lain.
كريمٌ متى أمدَحْهُ أمدحْهُ والوَرَى = معي وإذا ما لُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِي
Kariimun mataa AMDAH-HU AMDAH-HU wal waroo # ma’i wa idzaa LUMTUHU LUMTUHU wahdiy.
Dia itu mulia, kapan saja aku memujinya, orang lain juga ikut memujinya. apabila aku mencelanya, aku sendirian yang melakukan itu sementara orang lain tidak
Keterangan:Tanaafur kalimaat mujtami’atan = kumpulan kata minimal dua kata atau lebih yang saling memberatkan antara yang satu dengan yang lainnya dalam pengucapan dan lidah.Fii ROF’I ‘ARSYIs-SYAR’I mitsluka YUSYRO’ = contoh kalam ini tidak fasih karena mengandung tanaafur kalimaat mujtami’atan, dengan mengulang-ulang tiga huruf (RA, ‘AIN, SYIN). RA’ dan ‘AIN pada empat kata (ROF’I-’ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) dan SYIN pada tiga kata (‘ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) demikian juga untuk contoh lainnya.
2- Dha’fit-ta’liif (doifnya susunan menurut kaidah nahwu),
وضَعْفُ التأليفِ – كونُ الكلامِ غيرَ جارٍ على القانونِ النحويِّ المشهورِ، كالإضمارِ قبلَ الذكْرِ لَفْظًا ورُتْبَةً في قولِ. Dho’fut-ta’liif : adanya kalam yg tidak sesuai dengan kaidah nahwu yang masyhur. Seperti menyebut dhomir sebelum menyebut lafazhnya atau tingkatannya.Contoh syahid syair dalam bahar basith :
جَزَى بنُوهُ أَبَا الغِيلانِ عنْ كِبَرٍ = وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجزَى سِنِمَّارُ
JAZAA BANUUHU ABAL-GHILAANI ‘an kibarin = wa husni fi’lin kamaa yujzaa sinimmaaru.
Putranya (bani abu ghilan) membalas kebaikan Abu Gilan dimasa tuanya, dengan balasan sebagaimana dibalasnya orang yg bernama Sinimmar.
dho’futta’lif pada syair diatas ada pada kalimat ” JAZAA BANUUHU ABAL-GHILAANI” menyebut dhamir pada faa’il yang kembali pada maf’ul yg ada dibelakangnya “lafzhan wa rutbatan”. Demikian ini tidak sesuai dengan kaidah pakem nahwu, sebagimana dalam alfiyah bab faa’il oleh ibnu malik:
وشاع نحو خاف ربه عمر … وشذ نحو زان نوره الشجر
WA SYAA’A NAHWU KHOOFA ROBBAHU ‘UMAR * WASYADDA NAHWU ZAANA NAURUHUS-SYAJAR
3-Ta’qid (kusut/rancu dalam hal pengertian, baik secara lafzhi atau secara ma’nawi). Hal ini beserta fasih kalimah-kalimahnya.
Adanya kalam (kalimat) samar dalam penunjukan makna yang dimaksud.
والخفاءُ إمَّا منْ جهةِ اللفظِ، بسببِ تقديمٍ أوْ تأخيرٍ أوْ فَصْلٍ، ويُسمَّى تعقيدًا لفظِيًّا، كقولِ المتنبِّي:
Kesamaran itu baik dari segi lafazhnya, disebabkan takdim (mengedepankan yg seharusnya dibelakang ), ta’khir (mengakhirkan yg seharusnya didepan), atau fashl (pemisahan). Maka dinamakan ta’kid lafzhiy. Seperti contoh perkataan penyair:
جَفَخَتْ وهم لا يَجْفَخُونَ بها بهم = شِيَمٌ على الحسَبِ الأغَرِّ دلائلُ
JAFAKHAT WA HUM LAA YAJFAKHUUNA BIHAA BIHIM = SYIYAMUN ‘ALAL-HASABIL-AGHARRI DALAAILU.
فإنَّ تقديرَه: جَفَخَتْ بهم شِيَمٌ دلائلُ على الحسَبِ الأغرِّ، وهم لا يَجفخونَ بها.
Karena sesungguhnnya takdirannya adalah:JAFAKHAT BIHIM SYIYAMUN DALAAILU ‘ALAL-HASABIL-AGHARRI WA HUM LAA YAJFAKHUUNA BIHAA.Adat kebiasaan saling menasehati atas leluhurnya yg mulia, membanggakan mereka. Tapi mereka tidak banggakan diri dengan kebiasaan itu.
KETERANGAN:pada syair diatas terdapat FASHL/memisah antar fi’il (JAFAKHAT) dan muta’allaqnya (BIHIM) dengan kalimat sempurna yg mempunyai makna tersediri (WA HUM LAA YAJFAKHUUNA BIHAA).Kemudian terdapat TA’KHIR mengakhirkan lafazh (DALAAILU) dari muta’allaqnya (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI) sekaligus terjadi FASHL antara maushuf (SYIYAMUN) dan sifatnya (DALAAILU) dengan muta’alliqnya sifat yang seharusnya ada dibelakang (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI).
وإمَّا منْ جهةِ المعنى بسببِ استعمالِ مَجازاتٍ وكِناياتٍ، لا يُفْهَمُ المرادُ بها، ويُسَمَّى تَعقيدًا معنويًّا، نحوُ قولِكَ: (نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَه في المدينةِ)، مُريدًا جواسيسَه، والصوابُ:(نَشَرَ عيونَه). وقولِه:
Adapun kesamaran dari segi makna, disebabkan penggunaan majaz atau kinayah yang tidak difahami maksudnya, maka dinamakan ta’kid ma’nawiy. Contoh perkataanmu : ” raja itu menyebarkan ALSINATAHU/LIDAH-LIDAHNYA di kota itu” dengan maksud penyelidik-penyelidiknya. Maka yang benar ” menyebarkan ‘UYUUNAHU/MATA-MATANYA”. Dan sebagaimana dalam syair (bahar thowil):
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرُبُوا * وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوعَ لِتَجْمُدا
SA ATHLUBU BU’DAD-DAARI ‘ANKUM LI TAQRUBUU = WA TASKUBU ‘AINAAYAD-DUMUU’U LI TAJMUDAA.Aku akan mencari rumah yang jauh dari kalian agar kalian dekat di hati. Dan kedua mataku akan menumpahkan habis air matanya agar MEMBEKU (merasakan bahagia karena telah dekatnya hati)
حيث كَنَّى بالجمودِ عن السرورِ، معَ أنَّ الجمودَ يُكَنَّى بهِ عن البُخْلِ وقتَ البكاءِ
dimana dimaksudkan penggunaan kinayah dengan kata “JUMUD/BEKU” untuk mengungkapkan rasa bahagia, padahal sesungguhnya kata “JUMUD/BEKU” adalah kinayah untuk sulitnya air mata mengalir di saat sedang menangis.
C. Fashohan Mutakallim (pembicara) :
adalah malakah (bakat sang pembicara) yang mampu menuangkan maksud dengan kalimat fashih, dalam situasi sasaran yang bagaimana pun.
Setiap kalimat yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalimat yang fashiih itu selalu baliigh.Al-Mas'udiy meriwayatkan, bahwa lebih dari 480 khutbah yang diucapkan oleh Imam Ali r.a. tanpa dipersiapkan lebih dahulu, dihafal oleh banyak orang. Syarif Ar-Ridha mengatakan dalam kitab "Khutbah Nahjul Balaghah", bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah pencipta dan pengajar ilmu Fashahah dan juga merupakan orang yang mengeluarkan ilmu Balaghah. Dari dialah munculnya aturan-aturan ilmu tersebut dan dari dia juga orang mengambil kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya. Tiap orang yang berbicara sebagai khatib, pasti mengambil pepatah atau kata-kata mutiara dari dia, dan tiap orang yang pandai mengingatkan orang lain pasti mencari bantuan dengan jalan mengutip kata-kata Imam Ali. Demikian kata Syarif Ar-Ridha. Tentang hal itu Muawiyah sendiri juga terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, ketika ia berkata terus terang lepada Abu Mihfan: "Seandainya semua mulut dijadikan satu, Belum juga ada orang Qureisy yang cakap berbicara seperti dia". Banyak sekali ungkapan dan kata-kata mutiara Imam Ali r.a. tercamtum dalam kitab "Nahjul Balaghah", yang dibelakang hari diuraikan oleh Ibnu Abil Hadid dalam bukunya "Syarah Nahjil Balaghah", yang terdiri dari 20 jilid. Buku "Nahjul Balaghah" kiranya cukuplah menjadi bukti, bahwa dalam hal menyusun kalimat dan memilih kata-kata bermutu, memang tidak ada orang lain yang menyamai atau melebihi Imam Ali r.a. selain Rasul Allah s.a.w. sendiri. Salah satu contoh ialah kata-katanya: "Tiap wadah bila diisi menyempit kecuali wadah ilmu, ia bahkan makin bertambah luas". Dalam kitab "Al-Bayan wat Tabyin", Al-Jahidz mengetengahkan ucapan Imam Ali r.a. yang mengatakan: "Nilai seseorang ahila perbuatan baiknya". Dalam memberikan tanggapan terhadap ucapan Imam Ali r.a. tersebut, Ibnu Aisyah mengatkan: "Selain kalam Allah dan Rasul-Nya, aku tidak pernah menemukan sebuah kalimat yang lebih padat maknanya dan lebih umum kemamfaatannya dibanding dengan ucapan-ucapan Imam Ali".